Tuesday, August 21, 2007

Neoliberalisme, Indonesia dan Kaum Tani

Sekilas Sejarah Ekonomi Liberal
Sebenarnya, krisis pokok ekonomi global—yang lebih dahulu diderita oleh negeri-negeri berkembang—adalah: kelimpahan produksi tanpa daya beli masyarakat (excess supply). Dan krisis itu lah justru yang kemudian mematikan sektor riil; bukan sebaliknya, atau bukan kematian sektor riil yang menyebabkan krisis. Lebih jauh lagi, dilihat latar belakang ideologis penyebabnya, krisis tersebut merupakan hasil dari respon cara pandang liberalisme terhadap pasar liberal dunia. Dan lebih detail lagi, biang keladinya adalah metode ekonomi liberal, yakni: 1) balasan nilai yang tidak setara—berupa pendapatan masyarakat—dari pemilik modal terhadap tenaga kerja (produsen barang dan jasa); 2) spekulasi pasar saham; spekulasi perdagangan uang; dan 3) persaingan dengan pemilik modal lain.
Memang benar bahwa skala operasi modal dan "pemanfaatan" buruh-upahan telah semakin meluas dan meningkat dikarenakan akumulasi keuntungan dan persaingan di antara perusahaan, atau mengakibatkan terjadinya sosialisasi modal (dalam bentuk join-stock company) dan sosialisasi tenaga kerja (dalam bentuk saling ketergantungan manfaat tenaga kerja antar cabang produksi). Formasi joint-stock companies tersebut, yang akan meningkatkan skala produksi, menyebabkan perusahaan-perusahaan yang mereka miliki berpotensi semakin bisa disosialisasikan (social enterprises), atau perusahaan-perusahaan tersebut menjadi semakin menguasai hajat hidup orang banyak. Fenomena social enterprises sebenarnya merupakan tanda, bukti, adanya potensi bahwa sosialisasi tenaga produktif dapat diarahkan untuk kesejahteraan masyarakat—namun tidak demikian, pada kenyataannya. Fenomena joint-stock companies tersebut terbentuk pada paruh kedua abad ke-19.
Ketika kontradiksi antar perusahaan semakin menajam maka persekutuan agung joint-stock company tak lagi menjadi sakral (untuk dilanggar) karena perusahaan-perusahaan tersebut kemudian, mau tak mau, berkecenderungan monopolistik. Setelah itu tumbuh gejala perdagangan finansial, yang mencari keuntungan spekulatif—yang tak meningkatkan nilai produksi barang dan jasa; yang pasti hanya akan menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa. Itu lah gejala yang disebut sebagai perdagangan/bursa saham (Stock exchange), suatu institusi untuk menambah kekuatan modal keuangan (finance capital)—suatu kekuatan yang bisa dibuat mobil dan fleksibel melewati batas-batas nasional, mendunia, menjauhkankannya dari proses produksi langsung (baca: harga sahamnya bisa meningkat tanpa menambah nilai barang dan jasa), dan memudahkannya terkonsentrasi (pada segelintir orang).
Kehidupan ekonomi dan politik yang didominasi oleh kekuasaan finansial negeri-negeri maju menandai babak baru dalam sejarah dunia, babak sejarah dominasi baru yang, bila dibandingkan dengan tahun-tahun 1871 hingga 1914 (Perang Dunia I), lebih menekan, penuh dengan perubahan-perubahan mendadak, sarat dengan konflik, suatu babak yang, bagi rakyat, akan diakhiri dengan kengerian.
Penguasaan negeri-negeri berkembang dan terbelakang kini dijadikan JALAN KELUAR bagi mereka, dan badan-badan keuangan/perdagangan dunia merupakan perangkatnya. Sekarang penguasaan negeri-negeri berkembang mendapatkan topeng barunya: globalisasi—konsentrasi (baca: penyerakahan) nilai produksi masyarakat oleh perusahaan-perusahaan multinasional dalam bentuk penyatuan modal bank, finansial dan produksi. Jumlah perusahaan multinasional telah meningkat dari 7.000 (pada tahun 1970) menjadi 37.000 (pada tahun 1992). Perusahaan nasional, langsung atau tak langsung, dilekatkan dengan erat—sampai ke tingkat ketergantungan yang tinggi—pada perusahaan-perusahaan asing besar. Bahkan, kekuatan ekonomi perusahaan multinasional lebih besar ketimbang kekuatan ekonomi banyak negara-negara nasional. Contohnya, penjualan mereka telah meningkat dari US$5 trilyun (pada tahun 1980) menjadi US$35 trilyun (pada tahun 1992), dan diharapkan melebihi US$80 trilyun (pada tahun-tahun belakangan ini)—tiga kali lebih besar dari nilai total barang dan jasa yang diproduksi oleh aktivitas ekonomi negara-negara maju. Dan hasil globalisasi tersebut: pengukuhan kekuasaan finansial, yang bukan saja menguasai perusaaan-perusahaan industri, namun juga bank-bank dan perusahaan-perusahaan asuransi, tidak saja di Amerika tapi juga di dunia. Menurut Laporan Investasi Dunia 1993, yang diterbitkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), terdapat 37.000 korporasi transnasional, yang memiliki 170.000 anak perusahaan di luar negeri. 90% dari korporasi transnasional itu berkantor pusat di negeri-negeri maju.
Jauh dari apa yang disebut "penyebaran aset"¾seperti yang digembar-gemborkan dalam konsep teoritikus-teoritikus "globalisasi"¾dan sekali pun penjualan mereka telah menyeberangi bola bumi, justru korporasi-korporasi transnasional telah memusatkan produksi dan penjualan komoditi mereka di negeri-negeri "induk". Ini mencerminkan adanya distribusi yang sangat tak setara (uneven), tak adil, dalam hal investasi langsung dan perdagangan global.
Sebaiknya, kita telusuri juga sejarah bagaimana sistim ekonomi-politik liberal mencoba mengatasi krisis dan ekses-ekses yang ditimbulkannya, agar bisa dimengerti mengapa sampai pada kesimpulan: NEOLIBERALISME MERUPAKAN JALAN KELUAR SISTIM EKONOMI-POLITIK LIBERAL, yang hasilnya adalah krisis dan ekses-ekses juga.
Tak seperti situasi sekarang, pada akhir 1920-an, kelimpahan kapasitas produksi di segala bidang (structural overcapacity) dan pasar finansial yang (walaupun) diawasi dengan ketat telah menyebabkan ledakan spekulasi stock-market. Tak seperti sekarang juga, saat itu krisis diatasi dengan meningkatkan suku bunga untuk menahan laju permintaan kredit konsumsi—yang dianggap akan meningkatkan harga-harga inflatory barang dan jasa. Namun, pada tahun 1929, stock-market mengalami kehancuran, harganya mengalami penurunan gila-gilaan, mengakibatkan banyak investor dan kreditor bangkrut, serta investasi produksi menurun secara dramatik. Bank sentral Amerika (US Federal Reserve) tak bisa lagi mempertahankan sistim perdagangan internasional yang melibatkan bantuan antar-pemerintah secara besar-besaran. Negeri-negeri maju yang saling bersaing semakin meningkatkan penjagaan proteksionisnya. Pada tahun 1933, di Amerika pengangguran meningkat menjadi 13 juta orang. Krisis sosial politik (potensial) siap meledak, yang bukan saja akan melanda Amerika namun juga berpengaruh secara global.
Untuk menghindari ledakan krisis sosial politik itu, Presiden Franklin D. Roosevelt mendorong pemerintahannya campur tangan lebih besar dalam kehidupan ekonomi, yakni dengan memusatkan perhatiannya pada penyediaan lapangan kerja secara besar-besaran (massive). Pada musim dingin 1933-34 saja sudah 4 juta orang bisa diberikan pekerjaan dalam program-program pekerjaan umum dengan basis legitimasi fiskal (anggaran belanja defisit) dan juridis (UU Jaminan Sosial/Social Security Act of 1935). Roosevelt’s New Deal tersebut tak lain merupakan pengakuan: bahwa dalam babak (sejarah) dominasi perusahaan-perusahaan monopolistik dan dominasi modal keuangan, ekonomi liberal membutuhkan intervensi negara karena bila tanpa itu, atau bila hanya mengandalkan mekanisme pasar semata, maka sistim itu akan runtuh. Hanya negara yang sanggup memperpanjang hidup liberalisme.
Perbaikan atau jalan keluar bagi ekonomi Amerika—bisa menyelesaikan depresi ekonomi seperti, misalnya saja, pengangguran bisa ditekan menjadi 4,5 juta (dari 13 juta orang)—hanya berlangsung selama 2 tahun saja (1936-1937), karena pada bulan Maret, 1938, pengangguran meningkat lagi menjadi 11 juta orang, dan 10 juta orang menjelang Perang Dunia II. Cara Keynesian di atas hanya lah akan mendorong inflasi harga barang dan jasa bila para investor, yang menguasai bisnis, tak bisa MEMPERLUAS PASAR bagi peningkatan produksinya. Selama Depresi Besar tersebut tak ada perluasan pasar seperti yang mereka harapkan, itu lah mengapa keampuhan kebijakan Keynesian, sebenarnya, memiliki keterbatasan. Hanya atas dorongan pemerintah lah—melalui anggaran defisit yang diarahkan pada pembelanjaan untuk mempersenjatai PD II—pengangguran bisa diatasi. Hanya perang atau persiapan perang saja yang ternyata bisa memperluas pasar—melalui pembelian barang-barang kebutuhan perang oleh pemerintah. Persis, seperti yang dikatakan Keynes dalam tulisannya The General Theory of Employment, Interest and Money: "Perang telah menjadi satu-satunya bentuk pembelanjaan dalam skala besar (berbentuk hutang pemerintah) yang harus disetujui, diabsyahkan, oleh para negarawan." Jadi, adalah MITOS menyimpulkan bahwa adopsi kebijakan Keynesian lah yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sejak 1940-an hingga 1970-an. Karena, sebenarnya, restorasi tingkat keuntungan (dalam investasi produksi) lah yang menyelamatkannya, yakni melalui: 1) rendahnya upah riil (karena tingkat pengangguran tahun 1930-an); 2) hancurnya kompetisi bisnis, dan terjadinya konsentrasi modal secara massive; 3) anggaran defisit negara yang dibelanjakan untuk membeli barang-barang kebutuhan perang sejak awal 1940-an.
Terdorong oleh perang dan peningkatan persenjataan, maka seluruh cabang produksi mengalami revolusi teknologi—terutama penemuan peralatan-peralatan teknologi yang mempercepat otomasi proses produksi, yang dapat lebih melimpahkan hasil produksi. Revolusi teknologi itu menyebabkan berlipatgandanya keuntungan (profit) karena bisa menghemat ongkos produksi, yang memungkinkan penjualan barang menjadi lebih murah dengan konsumen yang lebih besar. Lagi-lagi, anggaran belanja defisit negara pada massa Perang Dunia II dan Perang Dingin lah¾yang disalurkan untuk penelitian dan pengembangan (research and development) serta perbaikan/peningkatan teknis (technical improvements)¾yang mendorong meningkatnya penemuan-penemuan teknologis (technological innovations) pada paruh kedua abad ke-20. Di atas basis penemuan-penemuan teknologi itu lah impian para investor diletakkan: bisa menggunakan segala cara untuk memaksakan perluasan pasar, menekan biaya tenaga kerja dan pengerukan sumberdaya global—semuanya itu sering dihaluskatakan (euphemism) menjadi "globalisasi". Spekulator besar seperti George Soros pun mengkawatirkan bahwa "globalisasi" dan "pasar bebas" neoliberal akan mengabaikan kepentingan publik—terutama kelas pekerja—sehingga mereka tak akan lagi patuh pada sistim parlementer yang menunjangnya dan akan mencari alternatif lain: mengambil alih pemerintahan ke tangannya, seandainya pun mereka masih dalam keadaan belum profesional. Dan depresi global seperti tahun 1929-an—krisis finansial dan keruntuhan ekonomi seperti yang juga menghantam negeri-negeri seperti Jepang, pada tahun 1989, Mexico, tahun 1994, Korea Selatan, Thailand dan Indonesia, pada tahun 1997, serta Rusia, pada tahun 1998—oleh negeri-negeri maju, terutama Amerika dan Inggris, tak lagi diatasi dengan cara Keynesian tapi dengan cara NEOLIBERALISME—dan tanggungjawab tersebut juga diserahkan kepada badan-badan keuangan dan perdagangan internasional (sebagai perangkatnya): IMF, WB, WTO, GATT, Paris Club, NAFTA, APEC dan sebagainya.
Globalisasi/Neoliberalisme: "Kemenangan" Modal
Serangan neoliberal terhadap kebijaksanaan Keynesian bukan lah bertujuan untuk membatasi penggunaan hutang masyarakat (public debt) guna mendorong ekonomi liberal, akan tetapi bertujuan mengarahkan/mengontrol pembelanjaan pemerintah yang dipakai untuk program-program kesejahteraan agar bisa MENSUBSIDI (TERMASUK KONSESI-KONSESI PAJAK) PARA PENGUSAHA BESAR DAN PROGRAM-PROGRAM PERSENJATAAN. Selain utak-utik kebijakan moneter (peningkatan/ penurunan tingkat bunga dan menjaga batas aman devisa, misalnya) dan fiskal (peningkatan/penurunan pajak dan retribusi publik, misalnya), di bawah ini adalah jalan keluar neoliberalisme—yang sudah menjadi umum di negeri-negeri berkembang—dalam "merespon kepentingan publik":
1. Pemotongan anggaran belanja negara. Menurut strategi neoliberal, seluruh kebijakan anggaran pemerintah ditujukan untuk untuk melayani swasta, bukan untuk kepentingan publik yang "tak produktif" dan tak bisa memperbesar serta memperluas jangkauan operasi modal. Karena itu anggaran untuk pendidikan, kesehatan, perumahan, pensiun dan jasa pelayanan publik lainnya harus dihapuskan. Bahkan menurut mereka subdisi tersebut hanya membuat rakyat "malas" dan "tak produktif";
2. Pemotongan subsidi-subsidi pemerintah. Seperti sudah diuraikan di atas, bahwa intervensi pemerintah ke dalam pasar harus dihapuskan. Subsidi, menurut mereka, adalah pemborosan anggaran dan bentuk distorsi pasar. Padahal menurut logika Keynesian subsidi merupakan salah satu bentuk kolaborasi—agar kaum pekerja tak resah. Subsidi bagi, misalnya, BBM, listrik dan telpon, tak dianggap sebagai basis bagi industrialisasi dan modernisasi; dan keuntungan industrialisasi dan modernisasi justru tidak pernah ditujukan untuk menekan harga-harga barang/jasa yang menyangkut kepentingan publik;
3. Privatisasi. Sektor-sektor usaha/perekonomian yang selama ini dikuasai negara dan yang selama ini difungsikan untuk memproduksi barang-barang kebutuhan pokok rakyat harus diswastakan. Menurut mereka beban untuk mensubsidi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut memberatkan anggaran negara dan menciptakan distorsi pasar (baik harga maupun jumlahnya) bagi komoditas sejenis. (Tapi, di Indonesia, PT. Indosat Tbk dan lain sebagainya, yang memberi sumbangan keuntungan yang besar bagi negara pun diprivatisasi juga. Jadi, alasan privatitasasi bukan karena KKN dan pemborosan semata).
Serangan neoliberal terhadap kesejahteraan dan daya beli masyarakat diperparah lagi oleh spekulasi di bursa saham dan permainan/jual-beli nilai tukar uang/kurs (currency). Tak seperti dahulu—para investor membeli saham guna berbagi keuntungan di atas basis aktivitas produksi dan penjualan komoditi—kini dorongan utama membeli saham adalah mencari uang melalui spekulasi (baca: perjudian): jual-beli saham agar bisa memperoleh keuntungan kilat dengan memprediksi (baca: mengira-ngira) bagaimana (nilai) jual-beli saham esok hari, bahkan dalam sekejap. Nilai tukar currency berbagai negeri pun menjadi sasaran spekulan. Skala spekulasi currency itu sudah sedemikian besarnya sehingga menyebabkan fluktuasi nilai tukar currency berbagai negeri, bahkan evolusinya (baca: bebannya) sampai-sampai melebihi kemampuan neraca pembayaran (balance of payments) suatu negeri—selalu kasusnya neraca pembayaran negeri-negeri berkembang. Perbandingan nilai transaksi spekulatif dengan nilai transaksi sektor riil: 60-an trilyun dollar banding 12-an trilyun dollar. Semakin berfluktuasi nilai tukar currency, semakin bergairah lah para investor berspekulasi. Hasilnya: sampai-sampai bank sentral negara-negara maju pun tak memiliki cukup uang lagi untuk melawan para spekulan—apalagi bank sentral negara-negara berkembang.
Agenda ekonomi neoliberal, yang dikombinasikan dengan pemangkasan daya beli riil para pekerja, penghamburan besar-besaran "walfare state" bagi kaum kaya, dan mendorong terciptanya perluasan "kebebasan" (tanpa bisa dikontrol) pasar finansial dunia, telah gagal menghasilkan kondisi-kondisi untuk mengakhiri depresi (berkepanjangan). Malah mempercepat akselerasi investasi dalam bentuk hutang, dalam bentuk kertas-kertas (tak) berharga di Wall Street dan pasar-pasar finansial di seluruh dunia, serta akhirnya menyebabkan kegoncangan dalam sistim ekonomi liberal dunia.
Apa yang kemudian terjadi dan beban apa yang kini harus ditanggung akibat kebijaksanaan serta agenda neoliberal:
Krisis
Pada tahun 1870, rata-rata pendapatan per kapita negeri-negeri kaya adalah 11 kali pendapatan per kapita negeri-negeri miskin, pada tahun 1965 meningkat menjadi 38 kali, dan pada tahun 1985 menjadi 58 kali; di antara jumlah tenaga kerja global yang berjumlah sekitar 2,5 milyar orang, 59%-nya sekarang berada di tempat yang oleh Bank Dunia digolongkan sebagai "negeri-negeri dengan upah murah", 27%-nya berada di "negeri-negeri dengan upah menengah", dan hanya 15%-nya yang tinggal di "negeri-negeri dengan upah mahal".
Wilayah miskin, semacam negara bagian Chiapas di Mexico, "selalu tetap miskin secara relatif sekalipun ekonomi seluruh dunia meningkat!"; fakta mengatakan bahwa daya beli upah pekerja non-supervisory, bahkan di AS, telah jatuh sejak tahun 1973 sampai pada level tahun 1950-an; rata-rata upah riil di Mexico jatuh hampir 50% selama tahun 1980-an; dan standar hidup mayoritas rakyat Mexico kini lebih rendah dibanding sebelum PD II; bahkan, di negeri-negeri maju, pengangguran meningkat tajam, mencapai tingkat rata-rata 8%—perbaikan dengan dinamisme besar-besaran pada tahun 1994, dalam 18 bulan menguap lagi. Pada periode tersebut, menurut laporan resmi, semenjak akhir resesi, pengangguran di negeri-negeri maju hanya menurun menjadi 7,8%.
Meksiko, justru semakin parah perekonomiannya ketika menerapkan kebijakan neoliberalisme seperti yang "dikomandoi" oleh IMF. Meksiko dan beberapa negeri Amerika Latin lainnya merupakan tumbal dari krisis tersebut; seperti juga Mozambique di Afrika; Filipina, Thailand dan Indonesia di Asia. Dalam periode krisis di awal tahun 1990-an, Meksiko selalu berada dalam daftar 5 besar negeri pengutang. Akan tetapi, yang penting diperhatikan adalah perkembangan ekonomi Meksiko saat itu menunjukan kemunduran yang tajam, dengan tingkat inflasi hingga 200%. Sadar atau tidak, banyak industri di Meksiko mengalami kebangkrutan karena tingkat daya beli rakyat yang rendah, sedangkan biaya hidup sangat tinggi. Apakah yang dilakukan oleh pemerintah Meksiko, yang saat itu dipimpin oleh Carlos Salinas? Apakah yang dilakukan massa-rakyat dengan kondisi perekonomian yang semakin menekan kehidupannya?
Berbagai usaha yang dilakukan oleh presiden Salinas tak jauh dari perkiraan banyak kalangan: kembali mengemis bantuan IMF dan WB, dan tak mampu merumuskan kebijakan baru yang lebih mampu melindungi kemakmuran rakyat. Kebijakan ekonomi Meksiko, dengan seluruh kemampuan masyarakatnya untuk berproduksi, dikembangkan dengan basis hutang luar negeri, dengan persyaratan yang kental dengan tuntutan privatisasi perusahaan-perusahaan negara. Akan tetapi, kemunduran itu tidak saja ditandai dengan "kemampuannya" untuk menjual perusahaan-perusahaan negara, melainkan juga menjual semua asset perusahaan negara, yang dipertukarkan dengan berbagai macam penanaman modal asing dan hutang luar negeri. Agar para investor AS, Eropa dan Jepang mau menanamkan investasinya di Meksiko, maka diberikan lah kemudahan-kemudahan seperti penurunan tarif pajak impor, dan pendekatan ke Konfederasi Pekerja Meksiko agar tidak melancarkan tuntutan kenaikan upah. Kalau pun masih terdapat banyak halangan terhadap penanaman modal asing, akan lebih banyak kemudahan lain yang ditawarkan seperti, misalnya, dukungan terhadap kebijakan-kebijakan perusahaan asing untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan dan sumber daya manusia di Meksiko.
Dengan adanya liberalisasi perdagangan dan privatisasi perusahaan negara, tingkat kehidupan masyarakat menjadi anjlog hingga mencapai angka di bawah standar normal. Malah, yang lebih mengenaskan, kemampuan produktif masyarakat yang selama sebelum periode liberalisasi perdagangan berada pada tingkat 32% di atas rata-rata Produk Domestik Bruto (PDB) negeri sedang berkembang, seketika menjadi menurun sampai di bawah batas rata-rata setelah dipaksa bersaing dengan investor asing. Dengan kondisi demikian, tidak lah mengherankan jika kemampuan masyarakat untuk membeli bahan-bahan pangan merosot jauh. Akhirnya, dalam perkembangan selanjutnya, kehidupan rakyat Meksiko mengalami degradasi luar biasa.
Pada tahun 1997, setelah terjadi pergantian presiden dari Carlos Salinas ke Ernesto Zedillo, pemerintahan Meksiko mengumumkan bahwa pemerintah sudah berhasil membayar hutang-hutang luar negerinya, khususnya kepada AS. Akan tetapi itu bukan lah sebuah keberhasilan. Seperti yang dikatakan oleh menteri keuangan Meksiko bahwa pembayaran hutang tersebut dilakukan dengan penjualan semua asset negara (dalam bentuk surat obligasi) kepada para pemilik modal di Eropa.
Bukan kah tepat bila analogi dampak-dampak neoliberalisme seperti ini: "Apa yang ditawarkan adalah mengubah dunia menjadi satu mall-besar, di mana mereka bisa membeli Indian di sini, membeli wanita di sana …anak-anak, imigran, kaum pekerja, bahkan sebuah negeri seperti Meksiko."
Rakyat Indonesia di Bawah Kebijaksanaan Neoliberal
Sebenarnya, jika menelusuri jejak ekspansi neoliberalisme di Indonesia, kita harus mengusutnya sejak Orde Baru berkuasa. Berdirinya Orde Baru tak lain adalah kemenangan modal, yang alat dan salah satu perwujudan awalnya adalah dominasi satu seksi pengusaha yang dipimpin Suharto dan kroni-kroninya. Dominasi tersebut menguntungkan faksi Suharto dan kroninya, karena dominasi modal mereka tak lebih hanya karena pengaruh kekuasaan politik dan todongan senjata (dari awal hingga kini mereka tetap lah pengusaha parasit). Sektor ekonomi modern, mau tak mau, senang tak senang, tetap lah ditangan pengusaha asing dan Tionghoa, dari hulu hingga hilir, dari produksi dan distribusi hingga kejahatan ekonomi tingkat tinggi (BLBI dan lain sebagainya)¾rasisme, percaloan dan pemerasan tak mampu menyingkirkan dominasi ekonomi mereka.
Kecenderungan liberalisasi ekonomi bisa diusut sejak awal Orde Baru berdiri, misalnya sejak dikeluarkannya UU Penanaman Modal Asing Nomor I tahun 1967, yang disempurnakan dengan UU Nomor 6 tahun 1968 dan UU Nomor 11 tahun 1971. Dominasi modal asing dalam perekonomian jauh melampui kemampuan pengusaha domestik, yang kurus kering. Bahkan seluruh sektor industri strategis, yang di Indonesia tak berkembang luas, seperti industri logam, pertambangan, industri kimia pun tetap didominasi asing.

Di Indonesia, paham neoliberalisme makin mengemuka sejak tahun 1980-an, ketika pemerintah semakin memperluas kebijakan liberalisasi keuangan, perdagangan dan investasi, yang berwujud dalam berbagai paket deregulasi sejak tahun 1983. Paralel dengan masa itu adalah terjadinya krisis hutang; tahun 1982, Mexico menyatakan tak mampu membayar hutangnya (default); tapi, jutru, setelah itu, IMF dan Bank Dunia meluaskannya ke negeri-negeri yang mengalami krisis hutang melalui perangkap SAP (Structural Adjusment Programs/ SAP), terutama di Amerika Latin dan Afrika. Krisis di Indonesia belumlah memuncak, dan karenanya jauh dari hiruk pihuk SAP. Namun menjadi terang, sejak saat itu, perekonomian Indonesia semakin mengadopsi kebijakan neoliberal.
Basis ekonomi dan politik dari semakin derasnya (kemampuan) modal internasional mengikat erat perekonomian Indonesia makin tak terbendung terutama sejak pudarnya kejayaan era oil boom, kejatuhan harga minyak pada dekade 80-an, sehingga negara kehilangan pundi-pundinya untuk memberi sogokan ceceran ekonomi pada rakyat. Tak ada jalan lain bagi pengusaha Indonesia kecuali berhutang kepada modal internasional. Hutang tersebut bersesuaian dengan modal internasional yang sedang mengalami krisis ekonomi─over produksi¾dan sedang membutuhkan perluasan pasar. Bahkan sekutu ideologisnya (dalam Perang Dingin), rejim-rejim diktator di negeri-negeri terbelakang, harus dipreteli benteng proteksionisnya untuk menyambut kebijakan neoliberalisme.
Namun, saat ini, seiring dengan krisis yang melumpuhkan perekonomian Indonesia, yang diawali oleh kejatuhan rupiah pada pertengahan tahun 1997, modal asing mendapatkan momentumnya di tengah pengusaha nasional yang sedang sekarat menghadapi krisis¾yang, terpaksa, harus mengemis pada lembaga-lembaga keuangan internasional. Intervensi modal asing tak terbendung lagi, perangkap hutang dan ketergantungan seluruh sektor ekonomi modern telah membuahkan hasilnya. Pengusaha nasional tersungkur, dipaksa menyerah dengan menandatangani serangkaian Letter of Intents pasokkan IMF dan, sejak saat itu lah, IMF menjadi Tuan ekonomi Indonesia. Tak ada satu pun pengusaha nasional yang berani menentangnya.
Propaganda neoliberalisme mengklaim bahwa minimalisasi campur tangan negara dalam kehidupan perekonomian positif bagi perekonomian. Ini jelas-jelas mitos. Di Indonesia, pengusaha yang sedang sekarat akibat krisis justru mengemis pada pemerintah guna mendapatkan subsidi¾termasuk bagi hutang-hutang para bankir dan konglomerat kroni Orde Baru─yang, bahkan, telah menghabiskan uang rakyat lebih dari Rp. 650 triliun. Sedemikian lekatnya pengusaha nasional memanfaatkan negara sampai-sampai mendapat privellege agar tak bisa dibangkrutkan oleh negara, seberapa pun mereka mengalami krisis─jangan bandingkan dengan unit-unit ekonomi pengusaha menengah dan kecil yang memang harus dibangkrutkan karena modal asing tak memerlukannya. Jika pun tak dapat mempertahankan kepemilikan aset-aset nya─karena diambil alih modal asing─tetap saja (saat dibantu oleh birokrat sisa-sisa Orde Baru yang korup) mereka berhasil membawa lari uang BLBI dan menyembunyikan aset-asetnya ketika harus disita untuk membayar hutang. Tak ada tindakan hukum apapun terhadap mereka.
Akibat krisis yang dipicu oleh spekulasi mata uang─yang mengawali krisis Asia─di Indonesia, nilai rupiah merosot drastis sebesar 85% (antara Juli - Februari 1998, nilai rupiah sempat menyentuh angka Rp. 16.000 per 1 US dollar). Industri, walau berbahan baku impor, diarahkan untuk berorientasi ekspor─padahal mayoritas industri modern domestik, yang dimodali hutang luar negeri, gulung tikar dan atau diambil alih oleh modal internasional. Puluhan juta buruh kehilangan pekerjaan akibat PHK, harga-harga barang melambung lebih dari 100%, inflasi terjadi hingga 77,6% dari satu tahun sebelumnya. Dampak sosial paling mencolok adalah meningkatnya jumlah penduduk miskin, yang menurut Biro Pusat Statistik, berlipat menjadi hampir 80 juta orang. Bahkan bila menggunakan ukuran (standar internasional) Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO), maka penduduk miskin (golongan yang berpendapatan dibawah 2 dollar US per hari) Indonesia berjumlah lebih dari 100 juta.
Indikator Kemiskinan Rakyat lainnya Sejak Krisis 1997
Pendapatan per kapita sebelum krisis adalah 1.000 US dollar. Kini tinggal 400 US dollar; Perkiraan dari ILO (tahun 2000) menunjukkan bahwa, di tahun 1998, dari total 30.490.000 tenaga kerja di berbagai sektor industri, 18%-nya atau sekitar 5.411.000-nya telah di-PHK; Center for Labor and Development Studies melaporkan bahwa total pengangguran resmi, pencari kerja dan setengah pengangguran di tahun 2001 telah mencapai angka 40,2 juta orang.
Menurut UNICEF, di Indonesia, pada tahun 1995, angka kematian ibu melahirkan per 100.000 kelahiran berjumlah 390 orang, dan pada tahun 1998 meningkat menjadi 500 orang; Menurut UNICEF, di Indonesia, pada tahun 1995, angka kematian bayi per 1.000 kelahiran di Indonesia berjumlah 55 bayi, dan pada tahun 1998 meningkat menjadi 100 bayi; menurut UNICEF (1995), di Indonesia, angka kematian balita akibat kurang gizi per tahunnya berjumlah 174.000 balita, dan pada tahun 1998 meningkat menjadi 180.000 balita; menurut UNICEF (1995), di Indonesia, jumlah anak putus sekolah berjumlah 2,8 juta anak, dan pada tahun 1998 meningkat menjadi 8 juta anak; menurut Departemen Sosial (1995), jumlah anak terlantar di Indonesia sebanyak 5,919 anak, dan pada tahun 1998 meningkat menjadi 6 juta orang.
Namun jejak krisis tak sekadar meninggalkan angka pengangguran dan merosotnya kesejahteraan rakyat, krisis telah mengakibatkan kebangkrutan/kehancuran modal yang luar biasa banyaknya. Pada tahun 1997, di awal krisis, 125 perusahaan tutup; di tahun 1998, sebanyak 816 perusahaan terpaksa gulung tikar; kemudian pada tahun 1999 (hingga akhir bulan Juni) 130 perusahaan gulung tikar. Kebanyakan perusahaan yang tak tahan terhadap goncangan krisis adalah perusahaan di sektor industri kemudian disusul sektor jasa. Data yang diperoleh dari Kantor Menteri Negara Koperasi dan PKM menunjukkan, sedikitnya 4 juta unit UKM menjadi tumbal krisis.(Suara Pembaruan, 28 Desember, 1999). Itu lah keganjilan dari sistem neoliberal: kelimpahan produksi bukannya meningkatkan kemakmuran rakyat, tapi justru menyebabkan krisis─ekses supply.
Salah satu rekomendasi IMF untuk Indonesia, sebagai syarat pemberian pinjaman, adalah LIBERALISASI PERDAGANGAN. Liberalisasi tersebut bertujuan membuka pasar Indonesia lebih luas lagi bagi produk impor─menghapus proteksi bagi barang-barang domestik─dan membuka liberalisasi investasi. Pada masa rezim Habibie, demi mendapatkan hutang dari IMF, pemerintah menjalankan sepenuhnya kemauan IMF, menghapus tarif bea masuk beras dan gula impor hingga 0%. Bahkan, dalam jangka panjang, berkomitmen akan menghapus seluruh bea masuk produk agro-industri. Pemerintahan demikian tak peduli dengan dampak sosialnya─kesengsaraan petani padi dan tebu karena harga beras dan gula jatuh. Jutaan petani sengsara, bahkan petani tebu harus merugi 2,1 juta per hektar pada tahun 1998-1999. Padahal industri gula menjadi sumber kehidupan bagi sekitar 10 juta kepala keluarga kaum tani. Demikian pula petani yang memproduksi beras. Pemerintah Gus Dur pun setali tiga uang, hanya sedikit saja merevisi kebijakan tersebut─tarif bea masuk beras impor ditetapkan sebesar 30 % dan gula impor sebesar 25% per 1 Januari, 2000. Kebijakan yang tak banyak menolong karena harga beras dan gula impor tetap lebih murah. Sejak liberalisasi impor diterapkan, industri gula mengalami kehancuran. Sebagai perbandingan, pada tahun 1930-an, Indonesia adalah eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba. Kini, Indonesia adalah importir terbesar gula setelah Rusia. Padahal banyak negeri lain, yang perekonomiannya lebih kuat pun masih mempertahankan bea masuk impor: AS sebesar 195 %, beberapa negara di Eropa bahkan 240 %, Thailand 104 % (Tempo, 9 September, 2001). Tentu saja menjadi semakin jelas motif dari kebijakan IMF tersebut bertujuan untuk mengakomodir kepentingan pemodal negeri-negeri maju yang membutuhkan pasar untuk produk-produk industri pertaniannya, terutama Kanada dan AS, juga Uni Eropa. Jadi liberalisasi pasar tersebut maknanya agar negara Dunia Ketiga secepatnya meliberalkan pasarnya, sementara negara maju tetap mengenakan proteksi (dengan tarif ataupun hambatan non tarif).
Penghapusan tarif impor beras dan gula hanya lah sebagian kecil dari paket liberalisasi perdagangan yang direkomendasikan oleh IMF. Pengurangan tarif produk kimia, besi/baja, impor kapal, produk kulit, aluminium, dan semen merupakan sektor-sektor sasaran berikutnya. Jadi, produk domestik yang berkualitas rendah─karena teknologi produksinya yang rendah─dipaksa bersaing dengan produk negeri-negeri maju yang produknya lebih murah dan berkualitas─karena teknologi produksinya yang tinggi. Di sisi lain, tak ada usaha pemerintah untuk mendorong pengembangan teknologi produksi dalam bidang pertanian, farmasi, baja, dan lain sebagainya.
Liberalisasi Investasi. Di bidang investasi, sebagai syarat pencairan hutang, IMF merekomendasikan kepada pemerintah untuk: menghapus batasan kepemilikan saham 49% bagi investor asing─kecuali perbankan─menghapus larangan investasi di sektor perkebunan dan dalam perdagangan eceran (supermarket, mall, dan lain-lain). Modal internasional pun leluasa mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia, serta menggusur pasar-pasar rakyat. Misalnya saja, saat ini bank-bank asing diperbolehkan membuka cabang-cabangnya, demikian juga supermarket, di seluruh kota di Indonesia.
Privatisasi BUMN. Di bawah pemerintahan Habibie, Gus Dur hingga Megawati, modal asing dengan alatnya IMF dan World Bank mendapatkan keleluasaan untuk menerapkan kebijakan neoliberalisme. Dalam hal privatisasi BUMN-BUMN, untuk membenarkan tindakan tersebut, selalu diajukan alasan bahwa BUMN-BUMN tersebut selama ini menjadi sarang korupsi, dan pengelolaan oleh swasta akan lebih menguntungkan negara. Maka yang terjadi kemudian adalah puluhan BUMN dijual, atau sedang dalam proses penjualan:
Di tahun 2002 ini saja, misalnya, dari sekitar 160 BUMN yang dimiliki pemerintah, 25 BUMN diprivatisasi oleh pemerintah Megawati-Hamzah: PT Bank Mandiri, PT Bank BNI Tbk, PT BRI, PT Danareksa, PT Virama Karya, PT Indah Karya, PT Indra Karya, PT Yodya Karya, PT Angkasa Pura I, PT Angkasa Pura II, PT Cipta Niaga, PT Indofarma Tbk, PT Kimiafarma Tbk, PT Jakarta IHD, PT Wisma Nusantara Indonesia, PT Kertas Padalarang, PT Kertas Basuki Rahmat, PT Blabak, PT Tambang Batubara Bukit Asam, PT Indosat Tbk, PT Semen Gresik Tbk, PT Indosement TP Tbk, PT Cambrics Primissima, PT Iglas, PT Intirub.
Tak terhitung lagi perusahaan yang semula bukan BUMN, tetapi karena tersangkut kredit macet dan BLBI, akhirnya disita dan dikelola oleh BPPN, yang kemudian dijual lagi kepada swasta seperti: PT. Astra, Bank BCA, dan lain-lainnya. Dan privatisasi tersebut dilakukan setelah rakyat dipaksa untuk "menyehatkannya"─eufimisme dari mensubsidi─dengan BLBI dan obligasi rekapitalisasi senilai lebih dari Rp. 650 triliun.
Dampak swastanisasi BUMN tersebut bagi rakyat adalah pertama, mayoritas rakyat kehilangan jaminan untuk membeli komoditi dan jasa vital dengan harga murah. Selanjutnya, pembelian komoditi dan jasa tersebut harus dilakukan sesuai dengan mekanisme pasar─yang pasti, kenyataanya selalu lebih mahal; kedua, dari pengalaman swastanisasi, pengelola yang baru (swasta) selalu melakukan kebijakan merasionalisasi (mem-PHK) buruh. Maka, adalah tepat jika buruh PT. Pelindo II Tanjung Priok, menolak rencana swastanisasi tersebut dengan melakukan pemogokan. Mereka tahu bahwa pengelola yang baru akan segera mengurangi 20% jumlah buruhnya (Kompas, 31 Mei, 2000). Hal yang sama juga dituntut oleh karyawan PAM Jaya, yang menolak swastanisasi. Demikian juga perlawanan buruh PT. Semen Padang, Semen Gresik, PT Indosat Tbk, PT BCA, Serikat Pekerja PLN dan lain-lain, berunjuk rasa menentang privatisasi.
Bahkan, proyeksi IMF, yang dituangkan dalam Letter of Intent (LoI) dengan pemerintah Indonesia, menyebutkan: dalam jangka 10 tahun, proses swastanisasi seluruh BUMN─kecuali sebagian kecil BUMN─harus diselesaikan.(Kompas, 25 Nopember, 1998). Kenapa IMF dalam LoI menganjurkan─lebih sering berupa tekanan─kepada pemerintah Indonesia agar menswastanisasi BUMN dengan alasan bahwa untuk menutupi defisit anggaran? Tak lain, tak bukan, untuk memenuhi kepentingan modal internasional─perluasan modal dan pasar mereka, serta terjaminnya pembayaran hutang luar negeri Indonesia.
Pertama, modal internasional berkepentingan untuk meluaskan lahan bagi investasi modal mereka. Apalagi, konsumen produk komoditi dan jasa BUMN-BUMN tersebut adalah mayoritas rakyat─potensi pasar yang sangat diincar oleh investor swasta. Kedua, dalam kondisi terdesak (kebutuhan dana segar, terutama), pemerintah Indonesia beserta birokrat-birokrat yang korup, tak berdaya atas tekanan IMF untuk sesegera dan semurah mungkin menjual BUMN-BUMN serta perusahaan-perusahaan swasta yang sudah di tangan negara─kasus penjualan BCA belum lama ini, misalnya. (Dalam waktu yang singkat, PT. Astra Internasional, dan PT. Bentoel berpindah milik ke tangan George Soros; PT. Semen Gresik ke CEMEX, PT. Indosement ke Heidelberg; BCA ke Farralon dan lain-lain. Karena, yang paling siap untuk membeli BUMN adalah modal internasional.) Ketiga, modal hasil swastanisasi BUMN digunakan untuk menjamin tersedianya anggaran pemerintah untuk membayar cicilan hutang luar negeri─yang bodohnya: pemerintah dan intelektual tak mau mengakui bahwa biar pun seluruh BUMN habis terjual tetap saja kita tak akan mampu melunasi hutang luar negeri. Lihat saja, pengeluaran negara untuk cicilan hutang luar negeri dari tahun ke tahun makin membesar. Menjadi jelas bahwa tingkat keuntungan (profit) yang dihasilkan dari BUMN akan mengalir ke pemodal swasta, ke kantong perusahaan-perusahaan internasional—Multi-National Corporation (MNC)─di negeri-negeri maju.
Penghapusan Subsidi. Subsidi publik, yang merupakan hak rakyat, pun terus menerus dipangkas, bahkan beberapa subsidi dihapuskan (pupuk misalnya). Pengurangan subsidi tersebut berlangsung terus sejak menjelang kejatuhan Suharto hingga saat ini. Bahkan belum setahun pemerintah Mega-Hamzah berkuasa telah menaikkan harga BBM (sebanyak tiga kali), TDL, tarif transportasi, tarif telepon, biaya pendidikan, biaya pengobatan di rumah sakit-rumah sakit. Tak hanya BBM dan TDL yang mengalami pengurangan subsidi. Pada tahun 1999, subsidi pupuk sudah lebih dahulu dikurangi, yang dampaknya jelas menyengsarakan petani. Akibatnya di beberapa daerah petani mengamuk, lantaran tak mampu membeli pupuk. Bahkan di Blora, Jawa Tengah, petani beramai-ramai menjarah gudang pupuk milik KUD dan agen penyalur pupuk, atau memaksanya menjual dengan harga lama. Akibat pengurangan subsidi, harga pupuk melonjak hampir 100%.
Semua kebijakan di atas sebenarnya berhulu di dua kepentingan besar modal internasional. Pertama, bahwa sebelum modal asing masuk ke Indoensia, perekonomian Indonesia dan aset-aset yang akan dijual harus disehatkan terlebih dahulu, dan regulasi-regulasi yang menghambat modal internasional harus dihapuskan. Inilah sebabnya mengapa IMF menganjurkan program penjaminan dalam rekapitalisasi perbankan yang menelan dana hampir Rp. 650 triliun─namun mereka bereaksi keras ketika subsidi BBM dan pupuk, yang nilainya jauh lebih kecil, mengalami penundaan dalam kebijakan pengurangan subsidi. Bahkan program rekapitalisasi diperluas tidak hanya kepada bank-bank, namun juga kepada perusahaan-perusahaan yang saat ini dikelola oleh BPPN (baca: bail out hutang) untuk selanjutnya diwajibkan untuk dijual. Kedua, program penyehatan tersebut sama sekali tidak boleh mengurangi prioritas dana bagi pembayaran hutang-hutang luar negeri. Sekalipun para kreditor, termasuk IMF dan World Bank tahu betul bahwa banyak hutang luar negeri tersebut yang dikorup oleh Orde Baru─hutang haram (semacam odious debt) yang seharusnya tak perlu dilunasi oleh rakyat.
Perangkap hutang luar negeri. Namun, hak rakyat untuk menuntut penghapusan hutang luar negeri tersebut─ketika tak juga diajukan secara resmi, walau oleh pemerintah Megawati-Hamzah sekali pun─sudah dirampas lagi saat Anoop Singh, Direktur Perwakilan IMF Asia Pasifik, menanggapi penghapusan hutang bagi Indonesia dengan meminta kompensasi yang tak kalah merugikannya:
"Ketiga persyaratan yang harus dilakukan pemerintah untuk meminta penghapusan hutang adalah keadaan makro-ekonomi yang baik dan stabil, kebijakan fiskal yang mendukung, serta penjualan aset BPPN dan Privatisasi. Ketiganya harus ada, tidak bisa hanya satu saja. Bukan seperti menu yang dapat dipilih salah satu. Agar bisa mengurangi hutang di Indonesia, ketiga hal tersebut harus dilakukan secara bersamaan. Ketiganya dalam satu waktu" (Kompas, 27 Agustus, 2001).
Persoalan penyelesaian hutang luar negeri, yang hingga saat ini mendekati angka 155 milaya dollar¾lebih dari setengah total hutang tersebut adalah hutang pemerintah¾sangat membebani perekonomian Indonesia. Apalagi, dari tahun ke tahun, ketergantungan terhadap hutang luar negeri semakin meningkat. Dengan jumlah hutang sebesar itu, maka Indonesia saat ini berada dalam kondisi Fischer Paradox─kondisi dimana nilai pinjaman baru lebih kecil dibandingkan dengan nilai cicilan hutang, dan bunga yang harus dibayar untuk hutang-hutang lama lebih besar jumlahnya untuk tahun yang sama. Jadinya, hutang luar negeri semakin membebani APBN. Resiko tak terbayarnya hutang luar negeri bukan lah sebuah akibat yang tak bisa diprediksikan sejak awal─jadi, kreditur pun juga harus memikul resiko tersebut. Pakar-pakar IMF dan World Bank mustahil tak mengerti bagaimana korupnya Orde Baru (misalnya mega korupsi Pertamina sudah terjadi pada pertengahan 1970-an), tapi mereka menutup mata dan terus mengucurkan pinjaman. Oleh karena itu beban pembayaran hutang luar negeri tidak seharusnya dibebankan kepada rakyat dan, karenanya pula, tuntutan penghapusan hutang luar negeri adalah sudah selayaknya, syah.
Bahkan, lebih jauh lagi, sebagai kreditur, lembaga-lembaga keuangan internasional sudah banyak mengeruk keuntungan dari pinjaman-pinjaman tersebut, baik dalam bentuk bunga hutang, pemakaian jasa konsultan proyek dan belanja proyek, tender proyek yang diberikan kepada perusahaan dari negeri kreditur, dan konsesi-konsesi ekonomi yang selalu menyertai pinjaman-pinjaman tersebut.
Neoliberalisme mengancam demokrasi. Dampak negatif lainnya dari kebijakan neoliberalisme ini adalah: modal internasional hanya mendukung demokrasi sepanjang menguntungkan eksploitasi. Ini lah mengapa negeri-negeri kaum pemodal besar, terutama AS, menyokong dan mensponsori kediktatoran militer dimana-mana pada era Perang Dingin. Tetapi apakah kebijakan menyokong militerisme tersebut telah berhenti? Ternyata tidak. Junta Militer di Myanmar maupun Musharaf di Pakistan tetap mendapat dukungan modal internasional. Propaganda demokrasi Amerika─yang akan tetap meng-embargo persenjataan dan bantuan lainnya terhadap TNI atas pelanggaran HAM (paska Jajak Pendapat di Timor-Timor, 1999) dan tuntutan agar para perwira militer yang terlibat diadili─pun pelan-pelan meredup─bahkan mulai menawarkan normalisasi kerja sama militer dengan TNI. Demikian pula sepak terjang PT. Freeport di Papua dan EXXON MOBIL di Aceh, tak sekadar mengeruk keuntungan dari eksploitasi gila-gilaan terhadap sumber daya alam namun, bersama sekutu domestiknya (pengusaha sipil dan bersenjata), ikut berperan membiayai operasi pelanggaran HAM di kedua daerah tersebut. Dalam konteks demokratisasi di Indonesia, tindakan tersebut jelas merupakan kompromi yang terang-terangan terhadap militer.
Hal tersebut menggambarkan bahwa modal internasional hanya menghendaki demokrasi di Indonesia sepanjang tak mengganggu kepentingan akumulasi modalnya; namun, bila keluar dari batas-batas tersebut, rakyat menghadapi militer Indonesia yang telah dilatih oleh seperti, terutama, Amerika, dan juga Jerman, Inggris dan Australia. Persis seperti gambaran neoliberalisme yang dinyatakan tokoh penganjurnya yang terkemuka, Hayek, ketika mengomentari rejim Pinochet di Chili, "Seorang diktator dapat saja berkuasa secara liberal, sama mungkinnya dengan demokrasi berkuasa tanpa liberalisme. Preferensi personal saya adalah memilih sebuah kediktatoran liberal ketimbang memilih pemerintahan demokratis yang tak punya liberalisme."

Situasi Pertanian dan Kaum Tani di Indonesia
Melonjaknya Buruh tani dan petani gurem
Saat ini, 70 persen populasi rakyat Indonesia adalah kaum tani yang bekerja di pedesaan-pedesaan. Menurut sensus pertanian yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2003, sekitar 56,52 rumah tangga kaum tani Indonesia adalah rumah tangga tani gurem yang hanya mengolah tanah kurang dari 0,4 hektar untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Dengan prosentase ini, berarti telah jumlah tani gurem di Indonesia mengalami peningkatan pertahun sebesar 2,6 persen pertahun dalam satu dekade sejak 1993, dan saat itu sudah mencapai 52,7 persen.
Menurut data BPS, persentase petani gurem di Jawa adalah 69,8 persen pada 1993, namun angka ini melaju cepat menjadi 74,9 persen atau bertambah sebanyak 1.922.000 rumah tangga. Di luar Jawa, Sensus Penduduk Tahun [ST93] persentasenya sebesar 30,6 persen, sedangkan ST03 mencatat 33,9 persen ekuivalen dengan 937.000 rumah tangga. Hal ini menunjukkan laju pertumbuhan rumah tangga petani gurem di Jawa lebih cepat dari pada di luar Jawa. Sebenarnya komposisi banyak rumah tangga pertanian di Jawa dan luar Jawa tidak berubah dalam sepuluh tahun ini. Apabila ST93 mencatat 56,1 persen sementara menurut ST03 komposisinya 54,9 persen di Jawa dan 45,1 persen di luar Jawa. Artinya, dalam 10 tahun ini yang terjadi adalah proses pemiskinan kehidupan petani. Petani semakin terpuruk, bukan semakin baik.
Meningkatnya jumlah tani gurem ternyata seiring dengan adanya proses pemusatan kepemilikan tanah dan sumber-sumber agraria di segelintir orang. Orang-orang tersebut mempraktikan sistem tuan tanah setengah feodal yang sesungguhnya semakin memperburuk kehidupan mayoritas kaum tani. Bentuk-bentuk praktik produksi sisa-feodal yang saat ini marak di pedesaan di Indonesia adalah praktik sewa tanah dan sistem bagi hasil yang tidak menguntungkan buruh tani, tani miskin, dan tani sedang-bawah. Tuan tanah berperan sebagai yang sama sekali tidak berpartisipasi dalam kegiatan produksi namun menguasai mayoritas hasil produksi.
Berikut ini adalah fakta-fakta tentang adanya konsentrasi kepemilikan lahan pada skala nasional. Sampai tahun 1998, kurang dari 666 unit produksi yang mengontrol kurang lebih 48,3 juta ha hutan HPH/HPTI, yang bila dirata-ratakan, masing-masing unit menguasai kurang lebih 72,6 ribu ha. Di antara perusahaan yang menguasai HPH/HPTI itu, tidak lebih dari 12 konglomerat yang mengontrol sekitar 16,7 juta ha lahan hutan. Di samping itu, Perhutani (perusahaan milik negara) mengklaim menguasai tiga juta ha lahan hutan. Kemudian pada tahun 2000 ketahui terdapat 2,178 perusahaan yang menguasai perkebunan besar dengan total lahan seluas 3,52 juta ha.
Sampai tahun 1999, terdapat 561 perusahaan yang menguasai 525 juta ha lahan konsesi pertambangan. Khusus mengenai konsesi pertambangan, melalui Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 2004, terdapat 13 perusahaan pertambangan yang diberi hak melakukan penambangan di areal hutan lindung. Perusahaan itu adalah adalah PT Freeport Indonesia yang mendapatkan jatah 202.380 hae areal hutan lindung di Papua, PT Inco Tbk menguasai 218.828 ha di Sulawesi Tengah, Tenggara dan Selatan, PT Aneka Tambang seluas 39.040 ha di Maluku dan 14.570 ha di Sulawesi Utara, PT Indominco Mandiri seluas 25,121 ha di Kalimantan Timur, PT Natarang Mining seluas 12.790 di Lampung, PT Nusa Halmahera Minerals di Maluku Utara seluas 29.622 ha, PT Pelsart Tambang Kencana seluas 201.000 ha di Kalimantan Selatan, PT Interex Sacra Raya seluas 13.650 ha di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, PT Weda Bay Nickel seluas 76.280 ha di Maluku Utara, PT Gag Nickel di Papua seluas 12.138 ha, dan PT Sorikmas Mining seluas 66.200 ha di Sumatera Utara. Kebijakan tersebut menunjukkan ketidaksetiaan pemerintah dalam program pemulihan lingkungan yang dikampanyekan melalui operasi wanalaga.
Bentuk monopoli tanah lainnya bisa dilihat dari luas tanah yang diusahakan konglomerat di sektor perumahan dan properti yang, pada tahun 1998, misalnya, di wilayah Jabotabek terdapat 10 konglomerat yang menguasai lahan di seluas 65.434 ha yang diperuntukkan untuk pembangunan perumahan mewah dan pusat bisnis, kemudian total wilayah yang sudah diijinkan untuk dibangun perumahan seluas 74.735 ha. Dalam rentang satu tahun, sejak 1994-1995, terdapat 418 developer (pengembang) yang sudah membangun perumahan di areal seluas hampir 1.3 juta ha. Masih untuk kepentingan "orang-orang kaya" di perkotaan, pada tahun 1995 terdapat 32 lapangan golf yang memakan tanah hampir 11.200 ha, dengan begitu rata-rata perusahaan pengelola lapangan golf mengusahakan paling sedikit dari 350 ha untuk setiap lapangan. Pada tahun 2000, jumlah pengelola lapangan golf meningkat menjadi 119 perusahaan. Dengan demikian, dalam hitungan kasar total lahan golf mencapai 41.650 ha.
Artinya, memburuknya kehidupan kaum tani adalah ekuivalen dengan adanya monopoli atas sumber-sumber agraria. Penjelasannya, memburuknya kehidupan kaum tani berpangkal pada turunnya produktivitas akibat menyempitnya areal pertanian. Proses penyempitan ini disebabkan oleh adanya monopoli di tangan segelintir orang yang terus menggerus hak penguasaan dan kepemilikan kaum tani atas tanah (yang menjadi sumber keberlangsungan hidupnya). Situasi ini memaksa kaum tani untuk bekerja lebih keras, bahkan terpaksa menjual tenaganya kepada segelintir pemilik yang memonopoli lahan.
Selain praktik sewa tanah dan sistem bagi hasil, praktik penindasan lain yang dialami kaum tani—khususnya tani miskin, buruh tani dan tani sedang-bawah—adalah penghisapan yang dilakukan tengkulak besar, rentenir, dan birokrat desa. Mereka memanfaatkan keterbelakangan ekonomi dan akses politik kaum tani untuk menancapkan penindasan dan meraih keuntungan sebanyak-banyaknya dari hasil kerja dan keringat kaum tani yang sesungguhnya tidak seberapa. Keterbatasan kebudayaan di kalangan kaum tani akibat dominasi praktik sisa-feodal telah mengekang produktivitas pertanian Indonesia.
Dewasa ini, Indonesia tergolong sebagai negara pengimpor pangan terbesar di dunia. Ironis, di negeri yang subur dan kaya sumber alamnya, kaum tani Indonesia justru merupakan kaum yang kerap dilanda masalah-masalah sosial seperti kelaparan dan berbagai jenis penyakit akibat rendahnya gizi dan mutu nutrisi. Pada masa Orde Baru, revolusi hijau secara politis dicanangkan untuk melaksanakan modernisasi pertanian tanpa harus menempuh jalan pembaruan agraria. Revolusi hijau dilaksanakan untuk mengikis ketergantungan kaum tani terhadap tanah. Melalui penerapan mekanisasi pertanian, program bimbingan massal dan panca usaha tani, revolusi hijau diharapkan mampu meningkatkan produktivitas pertanian tanpa harus melalui jalan ekstensifikasi lahan pertanian. Kerangka ini dilakukan sebagai langkah penyiapan sektor industri tanpa harus melalui proses landreform. Namun apa yang terjadi justru tidak sesuai dengan harapan.

Lapangan Perdagangan Produk Pangan yg Tidak Adil
Selain ketimpangan struktur agraria, kaum tani Indonesia didera kemiskinan yang akut akibat KETIDAKADILAN POLA PERDAGANGAN produksi usaha pertanian. Pendapatan mereka cenderung menurun, sementara biaya produksi semakin melonjak naik, belum lagi biaya hidup yang makin membengkak. Pasar kita dibanjiri produk pangan impor dalam jumlah besar, yang menjatuhkan harga produk petani kita. Bahan pangan impor tersebut seringkali menjadi berharga murah karena merupakan produk dumping, dan atau bahan pangan buangan berharga murah di negara asalnya. Di negerinya sendiri, petani Indonesia semakin menderita karena berbagai instrumen proteksi satu per satu dihapuskan oleh pemerintah demi kepatuhan pada agenda besar perdagangan global. Agenda tersebut bernama liberalisasi perdagangan.
Kondisi dunia sekarang ditandai oleh semakin gencarnya liberalisasi perdagangan global. Liberalisasi perdagangan dimaknai sebagai proses pencabutan peran negara/pemerintah dalam dunia ekonomi dan digantikan oleh peran pasar yang lebih besar. Dengan kata lain liberalisasi merupakan proses dimana pasar (bebas) menjadi indikator utama perkembangan ekonomi dan kemajuan peradaban. Liberalisasi perdagangan tidak saja berhenti pada pemangkasan peran negara dalam perekonomian pasar, tetapi juga ditandai dengan makin masifnya pergerakan modal/investasi lintas negara, khususnya ke negara-negara berkembang yang memiliki banyak keungggulan komparatif terutama tenaga kerja murah dan kelimpahan sumberdaya daya alam.
Liberalisasi perdagangan mempunyai konsekwensi besar bagi Indonesia, terutama terhadap sektor yang menguasai hajat hidup rakyat banyak, seperti pangan dan pertanian. Pertanian menyediakan makanan pokok bagi 210 juta penduduk Indonesia, dan menyerap 49,7 persen dari total angkatan kerja atau sekitar 44,62 juta angkatan kerja pada tahun 2002 (BPS, 2003). Dengan demikian pertanian memiliki dimensi yang sangat luas diantaranya ketahanan pangan, peyerapan lapangan kerja, pembangunan pedesaan dan pengentasan kemiskinan
Salah satu pendorong dari liberalisasi perdagangan dunia adalah World Trade Organization (WTO), dimana Indonesia merupakan salah satu negara anggotanya. Dengan menjadi anggota WTO, Indonesia harus tunduk atas aturan di dalamnya, yang mengikat secara hukum (legally binding). Dalam konteks pertanian, negosiasi WTO tertuang dalam Agreement on Agriculture (AOA). Negara kaya sangat kuat mengendalikan AOA untuk kepentingan pasar mereka dan sesungguhnya yang terjadi adalah perdagangan yang tidak adil. Negara maju masih mensubsidi petani mereka secara besar besaran dan masih menerapkan aturan yang perdagangan pertanian yang ketat bagi negara miskin. Amerika Serikat dan Uni Eropa, telah mengubah paket subsidi pertanian mereka seolah olah sesuai dengan aturan WTO, yang masih memungkinkan untuk melakukan dumping produk seperi beras, jagung, gula, susu dan kapas dengan harga jauh lebih rendah dari harga sesungguhnya. Pada saat yang bersamaan mereka secara agresif juga menekan negara berkembang untuk membuka pasar dengan mengurangi tarif impor
Negara kaya juga telah sejak lama juga menggunakan IMF dan Bank Dunia dan kesepakatan perdagangan bilateral yang agresif untuk mendorong liberalisasi perdagangan. Hal itu juga terjadi di Indonesia, IMF memainkan peran dominan bagi liberalisasi perdangan di indonesia. Krisis ekonomi berkepanjangan telah membuat negara dalam kebangkrutan ekonomi dan masuk dalam ketergantungan terhadap hutang luar negeri. Sebagai pra-syarat dalam mendapatkan hutang, Indonesia harus bersedia meliberalisasi pasarnya seperti yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI).
IMF menekan pemerintah Indonesia untuk menurunkan tarif impor beras (hal yang sama juga terjadi untuk gula, kedelai, jagung, telur dan gandum), bahkan sampai 0 % pada bulan September 1999 dan, pada saat yang hampir bersamaan, mencabut subsidi pupuk tanpa kompensasi apapun bagi petani. Secara simultan IMF juga menekan pemerintah untuk melikuidasi peran BULOG sebagai satu satunya pengimpor beras, dan membebaskan swasta untuk melakukan impor beras. Akibat dari semua itu adalah adalah membanjirnya beras impor di pasaran domestik yang menjatuhkan harga gabah petani. Dampak dari percepatan liberalisasi tersebut membuat petani semakin terpuruk dan pertanian rakyat mengalami kebangkrutan.
Masuknya Indonesia dalam perjanjian pertanian (AoA) WTO tahun 1995 dan tunduk dalam LoI IMF pada tahun 1997, telah membuat liberalisasi pertanian di Indonesia berlangsung secara radikal dan lebih cepat dari yang direncanakan. Liberalisasi pertanian telah menghilangkan kedaulatan negara untuk mengatur dirinya sendiri, seperti menjadi tamu di negeri sendiri. Penderitaan petani semakin lengkap, ketika kini petani telah kehilangan satu lagi perangkat perlindungan dari negara yang tersisa¾BULOG sebagai satu satunya alat perlindungan harga dan penyangga stok beras nasional telah diubah bentuknya menjadi perusahaan umum (Perum) yang menjalankan prinsip berdasar bisnis semata. Produk dari petani Indonesia, yang sebagian besar adalah petani gurem dan tanpa proteksi negara, harus terjun bebas bertarung di pasar yang liberal, dengan produk dari petani negeri maju yang disubsidi besar-besaran oleh negaranya.
Salah satu pertaruhan penting yang akan dihadapi pada tahun 2005 adalah perjuangan dalam perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), pada konferensi tingkat menteri ke VI yang akan diselenggarakan di Hongkong pada bulan Desember 2005. Event ini memiliki arti penting bagi nasib jutaan rakyat, terutama petani sebagai mayoritas rakyat ketika isu pertanian dan pangan menjadi arena pertarungan kepentingan antara kelompok negara maju dengan kelompok negara berkembang. Arena tersebut juga merupakan tantangan besar bagi pemerintah Indonesia, apakah akan tunduk pada aturan WTO yang merugikan petani atau berani secara berdaulat berjuang untuk melindungi petani dan pertaniannya.
Fakta dan Dampak Liberalisasi Pertanian
Liberalisasi pertanian di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran IMF, World Bank dan WTO, sebagai triumvirat (tiga seragkai) organisasi internasional yang mempromosikan ideologi neo-liberal. Paham neo-liberal pada intinya adalah mendorong terwujudnya pasar bebas, yang menekankan pentingnya mekanisme pasar persaingan sempurna yang tidak di intervensi oleh pihak manapun, termasuk peran negara. Peran lembaga lembaga tersebut sangat besar dalam mempengaruhi dan mendikte arah kebijakan pertanian di Indonesia.
Peran World Bank terutama dikaitkan dengan pembiayaan pembangunan Indonesia yang berbasis pada pertumbuhan ekonomi (economic growth). Sejarah panjang modernisasi pertanian di Indonesia, terutama penerapan Revolusi Hijau dalam mengubah wajah pertanian kita menjadi terpuruk seperti sekarang ini, sebagian besar adalah melalui pembiayaan hutang luar negeri melalui lembaga pembangunan dunia tersebut. Yang paling menonjol adalah pada tahun 1980-an, ketika dimulainya Structural Adjustment Program (SAP) yang merupakan proyek besar Bank Dunia untuk negeri berkembang. Melalui SAP maka sebenarnya Indonesia telah melakukan liberalisasi sektoral. Berbagai perundangan sejak tahun 1980-an sampai sekarang telah menuju privatisasi berbagai sektor publik, dengan memberikan peran terlampau besar kepada swasta untuk mengelolanya. Munculnya UU sektoral seperti UU kelistrikan, UU pertambangan, UU kehutanan, dan UU perkebunan serta, yang paling kontroversial, adalah UU Sumberdaya Air. Berbagai bentuk tekanan World Bank baik formal maupun non formal secara jelas telah mendikte berbagai Undang Undang tersebut menuju kearah privatisasi dan swastanisasi sektor publik, dan melemahkan akses masyarakat miskin terhadap layanan publik.
Seiring dengan hal tersebut liberalisasi pertanian juga dijalankan di Indonesia dalam kerangkan AOA (WTO). Dalam kerangka AOA, pemerintah Indonesia menyetujui pengurangan tarif secara bertahap dan mengkonversi semua hambatan perdagangan kedalam tarif, walaupun sesungguhnya tarif yang yang diatur dalam AOA sudah terlampau rendah batas tarifnya. Mengikuti apa yang diatur dalam AOA, maka pasar pertanian secara perlahan lahan dibanjiri produk pangan impor dari negeri maju.
Persoalan dasar dalam WTO adalah kecenderungan negara negara angotanya, terutama negara maju seperti USA, Uni-Eropa, Jepang dan Kanada, untuk menerapkan standar ganda (double standard) dalam berbagai aktivitas perdagangannya dengan negara lain. Negara maju secara retorik menyatakan tekadnya untuk menegakkan prinsip "zero tarif" untuk mendukung kelancaran lalu lintas perdagangan lintas negara, namun dalam prakteknya mereka justru menghambat arus masuk produk produk negeri lain dalam kerangka proteksionisme. Dalam konteks ini pertanian selalu menjadi isu yang kontroversial, karena kecurangan kecurangan negara maju dalam perdagangan pertanian nampak secara jelas dan terangan terangan, terutama praktek dumping.
Praktek dumping tersebut fatal akibatnya bagi negeri berkembang termasuk Indonesia yang menjadi pangsa pasar negeri negeri kaya. Sebagaian besar negeri berkembang sangat kecil subsidinya bagi petani, karena minimnya budget pemerintah dan selalu mendapat tekanan lembaga multilateral seperti WTO dan IMF, jika akan melindungi petaninya. Akibatnya produk pertanian negeri berkembang yang bersubsidi rendah tersebut harus bersaing dengan produk negeri maju yang bersubsidi tinggi di pasar bebas. Di Indonesia, sejak beberapa tahun terakhir, bisa kita saksikan serbuan produk pertanian impor dijual di toko toko swalayan, pasar tradisional bahkan pedagang kaki lima, dengan harga lebih murah dari produk lokal. Hal ini tentu berdampak besar bagi marginalisasi kaum petani di negeri berkembang.
Dengan liberalisasi pertanian tersebut maka total impor komoditas pangan utama Indonesia yaitu beras, jagung, kedelai, kacang tanah dan gandum pada tahun 2001 saja sudah mencapai angka Rp. 11,8 trilyun. Atas dasar mekanisme pasar ini berarti pertanian impor semakin menguasai pertanian Indonesia, dan menguntungkan importir, sementara petani lebih banyak dirugikan.
Salah satu skandal terbesar dalam sejarah pertanian kita adalah jika mencermati peran IMF dalam liberalisasi pertanian di Indonesia. Krisis ekonomi sejak 1997 telah membawa Indonesia dalam kebangkrutan, dan jatuh dalam perangkap hutang luar negeri. Kondisi tersebut membuat pemerintah menjadi tidak berdaulat dalam mengambil kebijakan di negeri sendiri, termasuk kebijakan pertanian. Indonesia kemudian harus tunduk pada sang pemberi hutang. IMF melalui Letter of Intent mendikte pemerintah Indonesia untuk meliberalisasi pertanian secara radikal, yang berdampak sangat besar bagi jutaan petani padi.
Liberalisasi pertanian yang radikal tersebut setidaknya bisa dilihat dari tekanan IMF atas pemerintah Indonesia dalam hal : (1) pencabutan subsidi pupuk dan liberalisasi tata niaga pupuk yang sebelumnya dikendalikan PUSRI. Hal ini dilakukan dengan tanpa kompensasi apapun bagi petani, yang mengakibatkan melonjaknya harga pupuk dari Rp.450/kg menjadi Rp. 1.115/kg. Hal tersebut berakibat pada peningkatan biaya produksi petani menjadi 2 kali lipat. (2) Pemerintah melikuidasi peran BULOG, sebagai instrumen untuk menjaga stok pangan dan perlindungan petani dengan membuka peran swasta secara luas untuk mengimpor beras. Pemerintah juga menghapuskan pemberian kredit likuiditas Bank Indonesia bagi Bulog untuk membeli gabah petani. (3) Yang paling fatal adalah mematok tarif impor pangan pada angka 5 %, untuk beras sebagai makanan pokok bahkan sampai 0 % pada bulan September 1999. Seiring dengan dibukanya swasta untuk mengimpor beras maka beras impor membanjiri pasaran beras domestik, dan memenuhi gudang gudang importir beras. (4) Sejak tahun 2001, pemerintah menghapuskan skema kredit murah untuk petani dan digantikan dengan kredit komersial dengan nama Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Akibatnya penyerapan petani terhadap kredit menjadi rendah, sehingga petani tidak bisa menutupi melonjaknya biaya produksi.
Studi JARNOPP dan OXFAM tahun 2001 dan Forum Petani Karawang (2002) menunjukkan bahwa pasca penerapan liberalisasi ekonomi tahun 1998 terjadi degradasi sektor pertanian, pangan dan kesejahteraan petani Indonesia yang tercermin dalam menurunnya produksi dan stok pangan petani, melonjaknya harga beras, turunnya nilai tukar pertanian dan pendapatan petani, kerentanan pangan dan eliminasi peran perempuan dalam sektor pertanian.
Negosiasi Pertanian dalam WTO dan Implikasinya
Salah satu saluran liberalisasi pertanian yang paling kritis dalam waktu dekat ini adalah kerangka perundingan pertanian di WTO atau sering dikenal sebagai Agreement on Agriculture (AOA). Dengan AOA ini, maka WTO mewajibkan anggota anggotanya untuk membuka pasa domestiknya bagi masuknya pertanian dari luar dan sebaliknya (disebut sebagai perluasan pasar atau market access), mengurangi dukungan dan subsidi terhadap petani (disebut sebagai subsidi domestik atau domestic support) dan mengurangi dukungan dan subsidi untuk mengekspor (disebut subsidi ekspor atau eksport competition).
Tahun 2005 ini, sudah satu dasa warsa sejak ditetapkannya pertanian sebagai bagian materi perundingan WTO. Indonesia, yang tergolong pendiri dari WTO, ternyata tidak banyak berkutik dalam konteks perundingan perdagangan internasional, dan selalu terpuruk oleh karena tekanan kepentingan negara negara maju terutama Amerika Serikat dan Uni-Eropa. Sepanjang menjadi anggota WTO, Indonesia justru menerima kerugian yang besar dalam bentuk keterpurukan pertaniannya dibandingkan dengan manfaat yang diidam-idamkan seperti peningkatan devisa dari ekspor pertanian.
Pertanian merupakan isu yang paling sensitif di WTO, sehingga hasil perundingan sektor lain sangat ditentukan keberhasilan perundingan pertanian. Yang paling menonjol dalam AOA adalah persaingan keras antara Uni-Eropa dan Amerika Serikat dalam memperebutkan pasar dunia sejak tahun 1995 sampai sekarang. Sementara itu ada satu kelompok lain yang menghendaki liberalisasi pertanian secepatnya, yang sering disebut sebagai Cairns Group yang dimotori Australia. Kelompok ini adalah representasi dari negara negara pengekspor pertanian baru, termasuk Indonesia didalamnya. Posisi Indonesia dalam Cairns Groups ini cukup mengherankan, karena sesungguhnya Indonesia bukan negara pengekspor, justru sebaliknya pengimpor dalam jumlah yang sangat besar.
Krisis ekonomi yang berkepanjangan membuat Indonesia harus menghadapi masalah mendasar seperti masalah hutang luar negeri, pengangguran dan terutama adalah kemiskinan. Liberalisasi pertanian telah terbukti berdampak buruk bagi petani, dan memperparah kemiskinan petani. Dengan demikian sehingga Indonesia harus menetapkan posisi yang tepat dalam negosiasi pertanian di AOA.
Melihat fakta dan dampak liberalisasi pertanian, dan untuk merespon kepentingan mayoritas rakyat petani maka semestinya Indonesia berada dalam posisi melindungi produksi domestik. Alasan utamanya adalah bahwa masyarakat miskin yang mayoritas tinggal di pedesaan membutuhkan lapangan kerja dan penghidupan yang layak melalui pembangunan pertanian dan pedesaan. Namun sayangnya tidak ada kejelasan secara transparan dari pemerintah terutama negosiator pertanian dalam WTO, mengenai posisi dan strategi yang akan dikembangkan padahal hal tersebut menyangkut nasib jutaan rakyat miskin di republik ini.
Perundingan terakhir WTO di Konferensi Tingkat Menteri di Cancun, Mexico mengalami kegagalan dalam perundingan pertanian. Di Cancun mulai muncul pengelompokan berdasarkan kepentingan, terutama mulai ada perlawanan dari kelompok negara berkembang G-33 yang dipimpin Indonesia untuk memperjuangkan perlindungan pertanian domestik dan kelompok G-20 yang berstrategi lebih ofensif untuk menekan negara maju mengurangi subsidi domestiknya yang berakibat dumping produk pertanian di pasaran internasional. Kelompok negara maju terutama Amerika Serikat dan Uni-Eropa terus menekankan akses pasar, dan berusaha untuk memasukkan isu isu baru untuk dibahas. Akhirnya perundingan gagal, dan tidak membawa menghasilkan sesuatu yang signifikan untuk kepentingan negeri berkembang. Dari semua perundingan AOA hanya satu isu saja yang bisa dikategorikan berhasil yaitu subsidi ekspor, tidak di dua isu yang lain yaitu akses pasar dan subsidi domestik. Bahkan walaupun subsidi ekspor berhasil dihapuskan, masih membuka peluang bagi negara maju untuk mengalihkan subsidi ekspor ke subsidi domestik, sehingga praktek dumping masih bisa melenggang berjalan. Ditambah lagi negara maju sekarang mengajukan "sensitif produk" sehingga membuat mereka leluasa melindungi sejumlah produk pertaniannya.
Posisi Indonesia sebagai pemimpin kelompok G-33 adalah memperjuangkan Spesial Product (SP) dan Special Safeguard Mechanism (SSM). Isu SP adalah negosiasi untuk produk produk tertentu negeri berkembang yang diminta mendapat fleksibilitas dan pengecualian dalam perdagangan internasional, karena menyangkut persoalan ketahanan pangan, pembangunan pedesaan dan pengentasan kemiskinan. Sementara itu, SSM adalah untuk meminta negara berkembang boleh menerapkan aturan aturan perbatasan, secara temporer atas impor pangan tertentu, bila menghadapi jatuhnya harga secara tiba tiba dan derasnya arus impor.
Dengan gagalnya KTM Cancun, seharusnya memberikan peluang bagi Indonesia untuk berbenah diri, menyusun strategi serta mempertimbangkan secara matang posisi Indonesia dalam rangka KTM WTO Ke VI di Hongkong, pada Bulan Desember 2005. Pertarungan masih belum usai, perjuangan masih panjang terutama bagi pemerintah untuk membuktikan keseriusannya dalam melindungi petani dan pertanian. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan terutama untuk meletakkan pembahasan pangan dan pertanian secara lebih komprehensif dalam AOA, tidak hanya satu pilar saja secara parsial. Namun demikian posisi Indonesia dalam G-33, merupakan modal yang harus dimanfaatkan sebesar besarnya untuk memperjuangkan kepentingan rakyat banyak.

Beberapa Dampak Penerapan Liberalisasi Pertanian bagi Petani dan Pertanian

1. Penurunan pendapatan petani - Hasil analisis yang dikompilasi dari data usaha tani petani di Desa Cikuntul, Karawang menggambarkan bahwa biaya produksi per hektar meningkat dari Rp. 1.800.500 pada tahun 1996 menjadi Rp.2.709.000 pada tahun 1999, sementara itu harga gabah cenderung tetap yaitu pada tingkat harga Rp. 1000/kg pada tahun 1996 dan Rp. 1100/kg pada tahun 1999 (Forum Petani Karawang, 2002).
2. Penurunan areal luas panen padi - Jika pada tahun 1999 luas areal panen 11.963 ribu hektar, maka tahun 2000 turun menjadi 11.793 ribu hektar dan tahun 2001 menjadi 11.415 ribu hektar. Penurunan ini sangat mungkin disebabkan oleh rendahnya harga jual gabah dibanding biaya produksi yang meningkat, yang terjadi selama kurun waktu itu, juga oleh konversi lahan sawah menjadi penggunaan non pertanian karena rendahnya nilai tambah pertanian padi.
3. Penurunan produksi padi - Dalam periode yang sama, terjadi penurunan produksi padi dibandingkan dengan waktu sebelumnya. Produktivitas padi sawah dan ladang, meningkat dari 2,4 ton/hektar pada tahun 1960-an menjadi 4,3 ton/hektar pada tahun 1990-an. Krisis ekonomi dan liberalisasi perdagangan menyebabkan produksi beras menurun sebesar -3,9%, kemudian menurun lebih besar yakni –4,9% pada tahun 1998. Pada tahun 1999 dan 2000 produksi beras meningkat masing-masing 1,8% dan 3,9%, namun pada tahun 2001 menurun lagi sebesar –3,4%.
4. Peningkatan bantuan pangan - Bantuan pangan merupakan satu bentuk masuknya beras internasional ke Indonesia. Indonesia merupakan penerima bantuan pangan terbesar dunia, yakni menerima 1.143.000 ton pada tahun 1998, 522.000 ton pada tahun 1999, dan 554.000 ton pada tahun 2000. Amerika Serikat, Jepang, dan Australia merupakan tiga penyumbang bantuan pangan terbesar Indonesia. Bentuk bantuan terbesar adalah gandum, diikuti terigu, dan beras.
5. Peningkatan jumlah buruh migran perempuan – Sepanjang era liberalisasi pertanian terjadi peningkatan jumlah perempuan yang menjadi buruh migran baik ke kota maupun ke luar negeri. Studi Jarnop dan Oxfam (2001) di Dusun Sukawijaya, Kec. Pedes, Karawang menggambarkan bahwa terjadi peningkatan 4 kali lipat jumlah Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke luar negeri dari 4 orang pada tahun 1996, menjadi 17 orang pada tahun 1998 dan pada tahun 2001 tercatat jumlah TKW dalam satu dusun mencapai 27 orang.
Perkembangan Kebijakan Agraria Terkini.
Perkembangan kebijakan agraria terkini bahwa pada 3 Mei 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhyono menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 36/2005. Perpres ini mencabut aturan hukum sebelumnya, yang juga bermasalah, yakni Keputusan Presiden (Keppres) No. 55/1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dari aspek substansi, Perpres yang dikeluarkan SBY lebih kejam dari Keppres yang ditetapkan Presiden Suharto.
Pepres yang ditetapkan SBY lebih represif ketimbang Keppres No. 55/1993, sebagaimana dilihat dari ketentuan-ketentuan, sebagai berikut:
Keppres hanya menyebut dua cara untuk pengadaan tanah bagi kepentingan umum, yaitu pelepasan hak dan penyerahan hak [(pasal 2 ayat (2)]. Sementara, Perpres menambahkan dengan klausa : Pencabutan Hak atas tanah oleh Presiden [(pasal 2 ayat (1)];
Keppres menyebutkan dengan jelas bahwa kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum adalah yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki oleh Pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan (pasal 5 angka 1 Keppres No. 55/1993). Sementara Prepres sama sekali tidak menyebut batasan atau ruang lingkup apa yg dimaksud dengan kepentingan umum;
Keppres hanya memuat 14 item bidang/kegiatan/jenis pembangunan untuk kepentingan umum. Sementara Perpres menambah 7 item sehingga keseluruhan menjadi 21 item bidang/kegiatan/jenis pembangunan untuk kepentingan umum. Padahal beberapa item pembangunan yang disebutkan baik dalam Keppres maupun Perpres dalam prakteknya sudah dilakukan secara mandiri oleh swasta, seperti: pembangunan jalan tol, pengadaan jaringan telepon, dan seterusnya;
Keppres 1993 memuat dengan jelas keberadaan Panitia Pengadaan Tanah (pasal 7). Sementara, Perpres sama sekali tidak memuat lembaga ini. Dalam praktek masa lalu walaupun tidak menyebut institusi militer sebagai panitia pengadaan tanah, justru institusi tersebutlah yang menjadi ujung tombak dalam pembebasan tanah. Dengan kelonggaran yang ada pada Perpres 2005, maka sangat mungkin institusi keamanan yakni TNI dan Polri, kembali dilibatkan guna memaksakan kepentingan pengadaan tanah tersebut.
Kedua, Perpres 2005 jelas-jelas dimaksudkan untuk memfasilitasi hasil infrastructur summit 2005, dimana pemerintah mengundang investor luar negeri untuk mencari sumber pembiayaan yang dapat menutupi kebutuhan dana pembangunan infrastruktur di Indonesia. Tercatat, kebutuhan dana mencapai Rp 1,305 trilyun. Menurut Menteri Koordinator Perekonomian, sejumlah Rp 810 trilyun akan dicari dari pengusaha swasta domestik dan luar negeri, dengan perincian: pendanaan berasal dari negara-negara dan lembaga-lembaga keuangan internasional Rp 90 trilyun dan investasi swasta asing dan domestik sejumlah Rp 750 trilyun. Sebagai catatan, Pemerintah Indonesia untuk tahap pertama telah menawarkan 91 proyek senilai Rp 202,5 trilyun kepada para investor.
Salah satu tindak lanjut Infrastucture Summit Januari 2005 lalu, pemerintah telah berjanji mengeluarkan 14 peraturan dan ketentuan untuk mendukung investasi, untuk meyakinkan mitra bisnis dari luar negeri untuk berinvestasi di Indonesia. Perpres No. 36/2005 inilah merupakan perwujudan dari komitmen Pemerintah Indonesia kepada pihak investor baik domestik maupun internasional. Perpres ini tidak lain, untuk menjamin bahwa ivestor/pemodal pasti mendapatkan tanah yang diinginkan guna melaksanakan proyek-proyek yang menguntungkan mereka.
Ketiga, dengan merujuk pengalaman masa lalu, penggunaan Keppres, yang secara substansi lebih lunak telah menimbulkan kasus-kasus penggusuran paksa sejumlah 1148 kasus prtanahan akibat Keppres. Kami menjamin, akan terjadi bayak kasus/perkara penggusuran paksa lahan-lahan penduduk atas nama Perpres 2005 yang ditandatangani Presiden SBY.
Jelaslah bahwa Perpres mengandung cacat paradigma, yaitu paradigma yang mengedepankan penggunaan pola kekuasaan represif otoriter untuk menjamin pemodal dan menggunakan pola pembangunan ekonomi liberal. Pada titik tersebut jelas dapat disampaikan Pemerintahan sekarang telah menjadi alat utama dan kaki-tangan investor/pemodal.

1 comment:

Raflis said...

Mari Tegakkan Kedaulatan Rakyat Atas Ruang